http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=15004&no=2
Komunitas Tangan di AtasTULARKAN "VIRUS" JADI PENGUSAHA
Inilah perspektif baru sekumpulan pengusaha. Selain ingin lebih banyak memberi kepada karyawannya, mereka juga saling membagi informasi. Berdiri tahun 2006, jumlah anggota Komunitas Tangan Di Atas (TDA) saat ini mencapai 1.300 anggota. Dengan perspektif baru, komunitas ini berangkat dari ide bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (diberi). "Konsep ini sebetulnya sudah lama dikenal, tapi lebih antara pengemis dan pemberi sedekah. Nah, dengan perspektif baru, yakni dengan menjadi pengusaha, tangan bisa lebih di atas lagi, karena bisa memberi ke lebih banyak orang," kata Roni Yuzirman (34), founder TDA. Jenis usaha yang digeluti anggota TDA beragam, dari garmen, IT, pendidikan, salon, katering, pernak-pernik, sepatu, dan sebagainya.
Semua berawal dari blog milik Roni, http://www.roniyuzirman.blogspot.com. "November 2005 saya mulai nulis blog, isinya sebetulnya sharing pengalaman bisnis saya, terutama waktu hampir bangkrut, dan kemudian bangkit lagi. Ternyata, banyak pembaca blog yang memiliki pengalaman yang sama. Dan ternyata banyak yang butuh teman untuk berbagi, kemudian cari solusi bersama. Akhirnya, berkumpulah para pembaca ini, lalu kami buat talkshow-nya, kopi daratnya-lah," lanjut pemilik Manet Busana Muslim Plus.
Kopi darat berupa talkshow digelar 22 Januari 2006, sekaligus menjadi tanggal berdirinya Komunitas TDA. "Di talkshow, kami mengundang tokoh yang kami anggap berhasil, yaitu H. Ali." Talkshow ternyata tak berhenti sekadar ceramah, tapi langsung take action, elepas acara, "Kami langsung ditawari H. Ali untuk mengisi toko-toko milik beliau yang kosong di Mangga Dua, gratis selama setahun. Nah, 12 di antara 40 peserta talkshow akhirnya menyambut tawaran tersebut dan bergabung. Seminggu setelah talkshow, kami langsung buka toko. Sebagian lainnya buka di Tanah Abang."
JALAN LEBIH CEPAT
Untuk kebutuhan komunikasi 40 orang itu, dibuatlah milis. "Jadi, milis itu awalnya untuk koordinasi antara kami ber-40. Tapi belakangan, orang luar pun tertarik gabung, sampai akhirnya seperti sekarang ini," kata Yulia Astuti (31), founder TDA yang lain. Karena banyaknya member dengan beragam usaha dan minat, akhirnya dibuat divisi-divisi sesuai jenis usaha atau minat anggota, mulai TDA Garmen, TDA Seluler, TDA Edukasi, TDA Food, dan sebagainya.
"Intinya, dengan bersama, bargaining kami jadi lebih bagus. Misalnya dalam hal memilih lokasi usaha. Kami bisa menawar. Kalau sendiri-sendiri, tawar-menawarnya berat, ramainya lokasi juga lama. Kalau langsung 20 orang, kan ramai. Ibaratnya mau narik semut, kami bikin gulanya dulu biar ramai, " lanjut Roni.
Divisi lainnya misalnya TDA Franchise. "Teman-teman yang berminat di franchise kami akomodir. Misalnya dengan mengunjungi pameran franchise," Ada juga TDA Book Club. "Buku dan diskusi sebagai dasar bisnis, bukan semata untuk komsumsi otak, tapi dipraktikkan. Jadi, kalau ada member baru, kami rekomen mereka untuk membaca buku A misalnya, supaya sama persepsinya."
Roni mengakui, tak semua divisi jalan. "Tapi minimal kami akomodir dulu. Kami sebetulnya cuma memberikan spirit, selebihnya terserah anggota masing-masing. Jadi, TDA sebetulnya lebih menebarkan virus kebersamaan. Bahwa dengan bersama-sama, kami bisa lho, lebih mudah, dan sekalgus terjadi akselerasi. Ibarat berjalan di eskalator, tangganya sudah berjalan, kitanya berjalan juga. Jadi lebih cepat," lanjut Roni.
Dan ini terbukti, "Misalnya kalau buka usaha sendiri, ketika susah, teman nggak ada, ya sudah merenung saja. Kalaupun ketemu solusi atau jawabannya, bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Intinya, semua proses untuk menjadi pengusaha tetap harus dijalani, cuma lebih cepat."
Secara moral, begitu masuk menjadi anggota, 3 bulan pertama harus sudah take action bikin usaha. Ada 3 kategori member TDA, yaitu yang belum punya bisnis, yang sudah punya bisnis (full TDA), dan yang sudah berbisnis tapi masih kerja juga (amfibi). "Setiap kategori, kan, punya kebutuhan. Untuk yang baru mulai, kami targetkan 3 bulan sudah harus take action. Di TDA, kami enggak hanya tukar informasi atau diskusi, tapi harus terlibat. Anda belum jadi apa-apa kalau belum berbagi di sini. Macam-macam, kalau yang ahli pajak, ya kasih ilmu tentang pajak, dan seterusnya. Belakangan, kami bikin mastermind-mastermind, yaitu program per divisi."
Roni juga menegaskan, TDA tidak menjamin bisnis seorang anggota bakal berhasil begitu saja. "Bisa juga gagal. Tapi, dengan kebersamaan, permasalahan anggota bisa di-share dan dicarikan solusinya. Kami, sih, berharap, semua anggota TDA bisa jadi pebisnis tangguh. Bukan hanya jumlahnya yang banyak," lanjut Roni yang pernah menerima penghargaan Swa Enterprise 50.
TDA SRIKANDI
Dampak virus TDA teryata memang luar biasa. Paling tidak, itu diakui anggota-anggota TDA yang sudah take action dan berhasil. Yulia, yang juga founder TDA, mengaku memperoleh banyak ilmu dengan bergabung di TDA. "Anggota TDA kan memang pengusaha. Kadang-kadang, kalau sendirian, begitu ada masalah, bingung mau diskusi sama siapa. Nah, di TDA, diskusinya nyambung, dan dapat solusi. Enaknya, orang-orangnya juga suka berbagai, enggak pelit sama ilmu. Jadinya, kami bisa belajar dari pengalaman mereka," kata ibu 2 anak yang juga pemilik Salon Moz5 (baca:muslimah).
Yulia sendiri memilih bisnis salon muslimah, karena potensinya ada. "Salon itu kebutuhan bagi perempuan. Dimana-mana ada salon, sama kayak bisnis makanan. Tapi, dari pengalaman saya, agak susah nyari salon khusus buat muslimah. Saya pikir, pasarnya besar, kenapa enggak bikin salon khusus muslimah saja."Saat bergabung menjadi anggota TDA, bisnis salon Yulia sudah berjalan. "Pas ikut TDA, saya lihat kok banyak anggotanya yang pengusaha retail dan garmen. Awalnya, saya sempat ikut-ikutan bisnis garmen. Apalagi, waktu itu memang lagi ingin nyari usaha lain selain salon." kata Yulia yang selain memiliki 4 cabang Salon Moz5, juga berbisnis aksesoris.
Yulia juga menjadi koordinator divisi TDA Srikandi, yaitu anggota TDA perempuan. "Anggota TDA kan kebanyakan laki-laki. Nah, kami, anggota perempuan, juga ingin punya wadah sendiri, makanya dibikin TDA Srikandi. Kegiatannya sih sama juga, ngumpul, diskusi. Kadang-kadang juga bikin acara bersama. Misalnya, perawatan tubuh. Jadi, selain mikirin bisnis, merawat tubuh juga penting," lanjut sarjana Sastra Jepang UI yang berhenti bekerja dari sebuah perusahaan Jepang tahun 2004.
Salah seorang anggota TDA lain adalah Mutia Nasution (28), yang membuka Tootie Kidz Center dan Senopati Kidz Center, pusat terapi bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mutia mengaku TDA memiliki kekuatan terutama di jaringan. "Mereka sangat men-support anggotanya, apalagi yang sudah full TDA," kata Mutia. "Meski jenis usahanya beda, tapi secara teknis kan, banyak yang sama. Misalnya soal cashflow atau menajemen kepemimpinan. Saya belajar soal itu di TDA."
Bentuknya kebanyakan sharing. "Misalnya, kalau ada anggota yang down, anggota lain men-support, 'Ayo, bangun lagi mimpinya. Kamu bisa, kok.' Mereka juga ngasih ilmu tanpa syarat. Prinsipnya, kamu kasih dulu, jangan meminta melulu. Makanya disebut TDA. Ilmunya disebarin, pasti nanti dapet hasilnya," kata lulusan D3 Rehabilitasi Medik FKUI yang sempat bekerja di beberapa Klinik Anak sebelum memutuskan membuka usaha sendiri.
KLUB 11 DIGIT
Ingin memiliki profit 11 digit (puluhan miliar) rupiah, sebaiknya bergabung ke Klub 11 Digit TDA. "Kami ingin semua anggota TDA jadi pengusaha kakap. Kalau yang sudah punya bisnis dan jalan, kebutuhannya kan makin meningkat, bukan lagi soal bagaimana memulai usaha. Makanya, kami buat Klub 11 Digit, yang anggotanya adalah mereka yang memiliki profit usaha minimal 9 digit," kata Roni Yuzirman.
Anggota Klub 11 Digit saat ini ada 20 orang. "Tahun depan targetnya 200 anggota-lah. Kami maunya TDA menjadi komunitas yang berperan secara signifikan, enggak sekadar jumlah." Program Klub 11 Digit adalah bagaimana bisa lebih cepat memperoleh profit 11 digit (puluhan miliar) dalam waktu maksimal 5 tahun. "Kegiatannya informal, sharing pengalaman aja. Misalnya, A main saham, B di IT, C di makanan. Nah, kami diskusikan, mana yang lebih cepat menghasilkan profit. Kalau A lebih cepat, bisa saja si B ikut main saham," lanjut Roni.
"Biasanya, untuk mempercepat proses menjadi 11 digit, disinergikan dengan bisnis lain, misalnya bisnis properti. Karena kalau dari bisnis inti saja, nunggu 11 digit bisa lama banget," timpal Yulia, yang juga salah seorang anggota Klub 11 Digit.
No comments:
Post a Comment