Sunday, December 31, 2006

Itung-itungan EMOTIONAL COST


Pagi itu, jam 11.15. Seperti biasa.Aku mondar mandir. Kamar - Ruang Tengah - Km Mandi, di rumah mungil kami. Anak keduaku-my cute lit kiya, merangkak mengikuti langkahku. "mamamama..."pelan, kudengar suaranya, lirih.. Aku sendiri masih sibuk bolak balik, "MaMmaMmmaMa...."mulai kenceng panggilan kiya. Akupun segera berbalik, jongkok, mendekatinya, lalu mencium pipi tembemnya. Tak berlama-lama, akupun berdiri dan melanjutkan persiapan. Memasukkan buku ini itu , perlengkapan, dompet, charger, dll ke dalam tas. Selalu memastikan, tidak ada yang tertinggal. Melihat aku masih tetap sibuk mempersiapkan segala sesuatu "MAMAMAMAMAAAAAAAAAAAAA..." lama2 dia teriak juga, menjerit, dan menangis....:(( Akhirnya, luruh juga hatiku. Aku menunduk, meraih dan menggendongnya. Sambil menggendongnya, kembali ke aktifitasku semula. Tidak lama, selesai semua. "OK, siap berangkat nih" aku berkata dalam hati. Padahal my kiya masih dalam gendonganku, masih dengan ceria dia bersandar di dadaku dan kakinya yang kecil menendang2 pangkal pahaku, sambil mengoceh gembira. "AAAAuuuuhhhhhhh Mooooooooo" ceracaunya, tanpa kumengerti apa yang dia katakan. Aku tersenyum. Aku tahu, kiya sangat senang aku gendong. Kubiarkan dia menikmati dekapanku. Bahkan, dia mulai dadah-dadah kearah pengasuhnya “dadahdadadaaahhhhhh” ujarnya ceria sambil melambaikan tangannya. Mungkin dia berpikir akan aku ajak pergi.Wah gawat! Pelan-pelan, aku pindahkan dia ke pengasuhnya. Sambil memberikan isyarat ke arah Mba-nya, kujulurkan tanganku..Hahhhphhh!!! Ternyata, setelah berganti gendongan, kiyapun mulai mengerti….spontan, air mukanya berubah, dan siap meledak tangisnya…….”MAMAAAAAAAAAMAAAAAHHHHHHHH” segera saja, kudengar raungan. Tangannyapun berusaha menggapai…..”Maaf yah sayang, cintaku,buah hatiku, kebanggaanku, manjaanku --hehehe, aku punya kebiasaan memanggil dengan nama sayang yang panjanggggggggggg--mama harus pergi dulu nanti sore mama pulang. “ Cepat-cepat aku beri tangan kananku ke tangannya. Mengajarkan dia cium tangan. Kiya menggenggam erat tanganku, namun kemudian pasrah kiya melepasnya. Dengan wajah polos, lucu namun menyiratkan kesedihan. Tak lama diapun membalas lambaian tanganku, dengan gerakan tangan yang lemah….hiks!
Aaahhhhhhhhhh……rasanya belum lama kiya masih belum bisa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Tapi sekarang?diusianya yang ke-13 bulan, dia sudah bisa memanggilku dengan lantang MAMMMMMMMMMMMAMAAAA setiap kali aku akan pergi. Bahkan seringkali diiringi jeritan dan raungan. AH! My Lit Kiya sudah bisa protes. Wah, wah, wah. Ibu mana yang tidak trenyuh?? melihat deraian air mata disertai sedu sedan dan pandangan sedih sang buah hati?? Aku masih ingat dulu, kakanya, caca, juga melakukan hal yang sama, setiap kali aku akan berangkat kerja.Hhhhh...masa sih sekarang harus terulang lagi adegan-adegan tersebut?? Haruskah aku terbebani lagi rasa bersalah, rasa tidak enak itu? OH NO!! Bukankah, keputusanku untuk menjadi Full Tda, salah satu alasan terbesarnya adalah bisa meluangkan waktu terbaik, secara kualitas maupun kuantitas? Lalu, kenapa sptnya adegan-adegan horor tadi harus terulang lagi? Atau aku saja yang terlalu berlebihan menyikapinya? bukankah hal yang biasa, kalau anak kita menangis saat melepas kita pergi? Toh, nanti diam sendiri! Bukankah anak-anak harus belajar mandiri, disiplin? Entahlah, aku tidak mau terjebak pemikiran itu. Karena yang aku mau adalah, meluangkan waktu sebaik-baiknya dengan anak-anakku. Both, secara kualitas dan kuantitas.
Di perjalanan, aku terus kepikiran. "Nambah lagi nih Operational Cost bisnisku" gumanku dalam hati. Ya! EMOTIONAL COST. Hmmmm cocok gak ya istilahnya. Biaya Perasaan, hehehe apa coba??Ada gitu, Biaya Perasaan? Bah, apa pula itu! Maksudnya, gini, setiap kali aku keluar rumah u/ keperluan bisnis, selalu aku menghitung2 biaya transportasi, waktu, dll--hehe itu juga setelah aku membaca banyak buku biz, yang kebanyakan menyarankan perihal hitung menghitung ini. Belum lagi, di laporan Arus Kas Bulanan, ada variable cost, fix cost…Pokoknya yang berbau-bau duit dan pastinya, angka!! Nah, kalo urusan yang satu ini, aku banyak belajar dari suami tercinta, yang jago urusan "beginian". Maklum, Akuntan bo'. Tapi, selama ini belum pernah tuh ada yang nyinggung-nyinggung yang namanya, EMOTIONAL COST tadi. Atau aku sendiri yang gak pernah tau?. Yang pasti sih, aku selama ini gak pernah kepikiran. Hanya terlintas sesekali. Tapi tidak pernah dipikirkan secara serius, apalagi pakai hitunga2an segala.
Bayangkan aja--hehe, ketauan banget cari dukungannya-- betapa mahal pengorbanan yang aku keluarkan, saat-saat berkumpul dengan anak-anak, bermain, bercanda, belajar dengan mereka. Itu kesempatan yang mahal banget kan? Saat saling bercerita, bercengkrama saling mengekspresikan,berbagi rasa dan kata. Benar, aku tidak pergi 24 jam sehari, betul juga aku tidak pergi setiap hari. Aku masih punya waktu bersama mereka. Tapi berapapun banyaknya waktu tersebut, berapapun seringnya, tentunya akan selalu terasa kurang…selalu ingin bersama…..dan betapa setiap kali mau keluar rumah, harus menyisakan rasa bersalah. Bahkan, kalau mau jujur, kalaupun aku ada di rumah, berapa persen ya dari waktuku di rumah itu yang benar2 aku ada 100% ?? Dari waktu ku di rumah, masih harus berbagi, dengan pekerjaan2 lain, karena, kantorku sendiri ada di rumah. Belum lagi nih, perjuangan menekan rasa malas, karena godaan untuk tetap di rumah, bermain dengan anak-anak sangat kuat. Apalagi, kalau semua ngumpul di rumah, suami dan anak-anak, aku harus keluar ada keperluan bisnis! Walau, tetap saja, kondisi sekarang jauh lebih enak, jauh lebih baik, ketimbang dulu masih bekerja. Setidaknya saat aku keluar rumah, waktunya bisa lebih fleksibel, paling tidak masih dalam rangka keputusan aku sendiri. Mau pergi atau tidak.
Katanya nih, kata Koko Adam Khoo, DO What YOU LOVE, and The Money Will Come To You. Intinya, cari bisnis yang memang berawal dari aktifitas yang kita senangi, kita cintai, jadi kita akan enjoy melakukannya. Namun, kadangkala, untuk mencapai ke taraf sana, butuh proses bukan? Tidak langsung, begitukita melakukan yang kita senangi, serta merta pula, uang akan datang kita...Ada benturan-benturan juga dengan lingkungan sekitar kita, misalnya lingkungan terdekat kita. Mereka-mereka yang membutuhkan kita. Spt kasusku, aku enjoy dengan bisnisku, aku enjoy dengan apa-apa yang aku lakukan, tapi apakah, orang-orang disekitarku, orang-orang yang aku cintai, aku sayangi, juga enjoy dengan apa yang aku lakukan? menikmati setiap langkahku? Bukankah, pada setiap perjuanganku, terkadang hadir friksi-friksi, riak-riak perasaan yang tidak nyaman itu!Bukankah egois kalau kita semata-mata memikirkan apa-apa yang kita suka, passion kita, tanpa memikirkan apa-apa yang diinginkan oleh orang-orang tercinta kita? Ini harusnya menjadi pengorbanan kita saja ataukah seharusnya menjadi pengorbanan mereka juga?
Nah, Kembali lagi ke EMOTIONAL COST tadi, aku mau charge berapa coba? 5 Jt? 1Jt? Atau 10Jt? Hmmmm....isnt it interesting? menghitung2 EMOTIONAL COST! Rasa2nya dengan metode itungan2 apapun, gak ada yg bisa secara tepat merumuskan angka berapanya. Karena ini tentang perasaan, siapa yang bisa menyebutkan angkanya? Rasa kangen, rasa cemas, rasa bersalah, rasa sedih, rasa gak keru2an, rasa bersenang-senang, rasa malas…Tidak bisa diitung dengan uang dong…Tapi, kalo kita bicara dalam konteks bisnis, lagi-lagi kita harus itung2an…*eh, bener gak sih?* Ada teman yang cengar cengir, waktu aku ajak diskusi membicarakan hal ini, kata dia nih : “Hehehehe dasar TUYUL, ngitungin duit aja LU! Masa kaya gitu aja, elu mau ngitung2 sih!!!” Huhh, payah deh, gak nyambung abis ya bo’! gerutuku dalam hati.
Aaah.. setelah aku baca-baca lagi buku-buku yang dulu pernah dibaca, spt One Minute Millionaire, Mimpi Mimpi Einstein, E-Myth, Adam Khoo, How To Be Like Mike, Kiyosaki Series, dengarkan kaset, cd, nonton film (waks panjang juga ya……referensinya) Finally, aku menyimpulkan, untuk urusan yang satu ini, gak usah deh pake itung2an angkanya, pusing sendiri. Mabok sendiri. Kenapa juga gak aku coba negosiasi dengan diri sendiri, mengajak kerjasama dengan diri sendiri. Hehe, bingung kan, maksudnya apa tuh? ngajak kerjasama diri sendiri. Aku bicara dengan diriku sendiri, dengan suara yang paling jujur, suara dari kata hatiku. "Gimana kalo langsung aja ambil kesimpulan, JANGAN LAMA-LAMA mengeluarkan EMOTIONAL COST ini, buruan kejar target, kejar goals….Raih secepatnya impian.Woiiii bangun!!!! Jangan kebanyakan mikir!!! Kenapa juga lama-lama Work in The Business cepet2 aja Work on The Business kalau tidak mau terus menerus mengeluarkan EMOTIONAL COST. Walau kadang, pengertian Work In dan Work On, ini masih rancu. Bukan rancu, mungkin ya. Tapi kitanya yang merancukan sendiri. Ah sudah masalah ini jangan diperpanjang hehe. Mendigan juga buruan Money Freedom, biar Bisa Time Freedom, trs naik pangkat Relationship Freedom, biar bisa Spiritual Freedom, dan lalu Physical Freedom!! Karena Ke5 Freedom ini yang akan memberikan kita Ultimate Freedom…wow...dalem ya bow!Ini semua kata Om Mark Victor Hansen, yang memang aku amini. Tiba-tiba, ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, suara-suara menggema, di dalam pikiranku. Ah, dari mana pula datangnya semua suara-suara ini?
MAAAAAAAAAMMMMMMMMMMAAAAAAAAAAAAAAAAAAA……!!!” Gubrak!!!! Jeritan kiya, membuyarkan lamunanku. Segera aku berlari, masuk ke kamar. O’OW….Ternyata kiya terbangun. Kulirik jam dinding, jarum pendek di angka 2. jarum panjang di angka 3. jam 2.15 pagi. Ternyata sudah 2 jam, aku ngelamun di kamar kerja. Dengan melihat pandangan matanya saja aku sudah tau kalau Kiya mengajakku bermain. Segera, Kuraih tubuh mungilnya. Kuciumi tubuhnya yang harum, khas aroma bayi. Sambil berbisik ditelinganya yang lembut dan halus, “sabar ya cinta….mama lagi mengejar freedom2 itu…” Doakan mama nak!

No comments: