Seorang Ibu dan anak perempuannya...
Seperti halnya uang. Tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Jika untuk kebaikan, maka berbuah kebaikan, di dunia dan akhirat. Jika untuk kejahatan, maka berbuah dosa dan neraka dunia akhirat.
Begitupun dengan cinta. Bisa jadi sumber kebahagiaan dan keberkahan, juga bekal nanti di akhirat. Namun bisa juga menjadi sumber malapetaka. Bisa juga membunuh dalam berbagai bentuk, membunuh kreatifitas, karakter, bahkan nyawa dan mungkin bangsa atau bahkan peradaban!
Atas nama cinta, semua bisa jadi gelap, semua bisa jadi abu-abu. Atas nama cinta juga, segalanya bisa jadi putih suci atau secerah jingga. Sebiru samudra, atau sehijau rimba tropis. Sesejuk embun atau sehangat mentari.
“Bu, Kiya harus diajarkan disiplin, diajarkan mana yang dia boleh lakukan, mana yang seharusnya tidak dia lakukan. Dia harus belajar. Jangan sampai karena kita sayang, kita cinta, kita jadi overprotected. Jangan sampai, karena kasian, karena ingin melindungi, kita justru menghambat pertumbuhan dan perkembangannya”
Akupun hanya manggut-manggut. Sesekali menimpali “Oo gitu ya?”
Ini adalah sesi observasi untuk terapi SI kiya di Klinik OT RSCM. Akhirnya dapat kesempatan juga setelah tadinya harus waiting list 1 bulan lebih, ternyata dalam beberapa hari kami dipanggil. Dari sekian poin, poin inilah yang kami bahas paling akhir.
“Iya bu, jangan sampai dia jadi manja, dan yang ditakutkan dia tidak tahu aturan. Misalnya, dia harus belajar, bahwa merusak atau mengacak-acak buku orang lain, adalah perbuatan yang salah. Bagaimana caranya? kita harus menegur dia, kita harus tega saat dia menangis. Tentu akan ada pemberontakan, dan dia akan mencari pertolongan, tapi semua pihak harus kompak, tidak boleh membiarkan. Dengan begitu dia akan belajar, bahwa, Oh ini tidak boleh ya! Oh ini tidak dibenarkan ya!“ Ujar Mba Terapis.
“Iya sih, saya ngerti juga. Tapi bagaimana ya? Saya pikir tadinya, ini bagus untuk dia, kalau saya larang-larang, nanti malah justru saya menghambat rasa ingin tahunya..“Aku membela diri
“Oh beda Bu. Kiya tetap harus belajar, mana yang boleh mana yang tidak. Mana yang mengganggu orang lain, mana yang tidak. Kalau engga diajarkan dia akan menjadi anak manja, dan mau menang sendiri. Parahnya lagi, dia akan terus destruktif.“
“Bahkan saya pikir, sudah bisa dicoba untuk masuk sekolah, misalnya PG. Supaya kiya juga bersosialisasi dengan anak seusia dia lainnya. Selama ini dia dikelilingi oleh orang Dewasa yang semua menyayanginya. Itu bagus, tapi juga bisa jadi bumerang kalau semua anggota keluarga ini banyak membiarkan kiya, banyak yang membelanya“
Akupun teringat satu kejadian “Iya mba. Kiya pernah ngambek sama opanya, 2 hari tidak mau bermain dengan opa, bahkan melihat wajah opanya aja dia langsung melengos. Gara-gara, dilarang Opanya saat kiya mulai menarik-narik kabel mesin cuci“
“Bla..Bla..Bla..Penjelasan panjang lebar dilanjutkan lagi oleh terapis yang sangat informatif ini.
Ada benarnya juga sih. Aku memang berusaha melimpahkan kasih sayang, cinta, pujian, dan hal-hal baik lainnya *versi aku tentunya* untuk Kiya. Agar dia tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri, sehat jasmani dan rohani, jadi anak soleha, dan segudang pengharapan lain khas orang tua. Ya sama seperti yang kami harapkan pada Kaka Caca, hanya berbeda dalam perlakuan. Ini yang membuat aku luput banyak hal. Bahwa kiya sama normalnya dengan anak-anak lain, bahwa kiya sama seperti kakanya, berati diapun harus belajar sedini mungkin tentang nilai, norma, aturan dan kultur keluarga. Seperti halnya anak-anak lain. Karena inilah yang akan jadi bekal hidupnya kelak. Salah satu pegangannya dalam mengarungi kehidupannya nanti.
Ternyata, Bahkan untuk hal sepele yang sama sekali tidak kepikiran oleh ku. Bahwa dia gemar sekali mengacak-acak kamar kerja, tas-ku, dll. Aku selalu kerepotan, tapi aku tidak terpikir untuk melarang, untuk mengajarkan kepada kiya, bahwa itu mengganggu dan tidak seharusnya dia lakukan. Kalau mau menyalurkan energi dan rasa ingin tahunya dengan benar, alihkan kepada kegiatan positif lainnya. Bermain di kebun, berjala-jalan, atau sekedar mengejar si Pussy.
dan masih ada banyak PR-PR lainnya yang harus aku terapkan.
Aku langsung memulai untuk menjarkan Kiya sedikit disiplin. Misalnya dengan mulai melarang kiya melemparkan semua isi tas-ku. Saat kutegur sambil memindahkan tas ke tempat yang aman, Kiya main yang lain aja ya, ia menjerit keras. Aku tahu aku harus tegas, kubiarkan kiya menangis, tapi saat aku lihat air matanya berlinangan dan dia mulai sesenggukan. Aku kalah. Aku peluk kiya dengan erat sambil berkata “Maafin mama ya ya cinta" Sepersekian detik, kiya langsung tersenyum lebar dan memamerkan gigi kelincinya, sambil melanjutkan lagi, mengacak-acak, kali ini tas tentengan aku Hhhhhhh...*sigh*
Nah loh...bagaimana kiya mau mengerti? Bagaimana dia bisa belajar??
Apa pelukan erat dari aku tadi adalah bukti cinta ibu yang tidak tega melihat anaknya menagis, atau murni semata karena kelemahan aku, yang tidak bisa bersikap tegas, padahal untuk kebaikan sang anak?
Aku masih belajar. Aku mungkin masih mendapat angka merah dirapor Peran Ibu yang aku sandang ini. Tapi aku mau berusaha, dan tetap akan berusaha memberikan yang terbaik. Menjadi Ibu, menjadi orang tua, tentunya lebih menantang. Jauh lebih seru dari Fear Factor. Selalu ada hal baru, selalu ada yang mendebarkan, ada yang mengharukan, ada yang menakjubkan, dan gak sedikit juga yang bikin frustasi.
Tidak ada pilihan, bahwa cinta ini memang harus disalurkan seproporsional mungkin. Dengan benar dan pada jalur yang benar juga..
Yulia- Mama Caca dan Mama Kiya
Founder moz5 salon muslimah